SURABAYA, lazisalharomain.org |Menurut data UNESCO, terdapat 150 juta anak-anak jalanan di dunia saat ini dengan masa depan yang suram. Berbagai faktor melatarbelakanginya, seperti diusir dari rumah, kematian orangtua, alkohol, perceraian orangtua, perang, bencana alam, dan kondisi sosial ekonomi yang memaksa mereka untuk bertahan hidup. Di Indonesia, Direktur Rehabilitasi Sosial Anak pada Kementerian Sosial mencatat setidaknya pada bulan Agustus 2017 ada 16.290 jiwa anak jalanan, dan sebagian besar berada di pulau Jawa.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dari total 87 juta anak di Indonesia, sebanyak 6 persen mengalami kekerasan. Wakil Ketua KPAI (Republika.co.id) menyatakan bahwa anak-anak jalanan menghadapi kerentanan kekerasan yang jauh lebih tinggi, baik secara fisik maupun psikologis, dibandingkan anak-anak normal yang tinggal di rumah. Mereka hidup dalam kondisi terbuka dan represif, serta memiliki kekuasaan yang tidak setara dengan orang-orang di sekitar mereka.
Kementerian Sosial (Kemensos) mencanangkan program Indonesia Bebas Anak Jalanan. Kemensos bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait, pemerintah daerah, dan masyarakat. Kemensos menawarkan bentuk penanganan anak jalanan melalui Rumah Singgah, Panti Asuhan, Yayasan Perlindungan Anak, dan lain-lain.
Pesantren, sebagai model pendidikan Islam tertua di Indonesia, seharusnya berperan dalam pengentasan anak jalanan, yakni sebagai salah satu bentuk dakwah pesantren ke masyarakat. Anak-anak juga merupakan kader potensial untuk meneruskan cita-cita dakwah. Berikut ini adalah beberapa hal yang mungkin terjadi apabila anak jalanan tidak mendapatkan pendidikan ala pesantren.
-
Rentan Terganggu Akidahnya
Anak jalanan merupakan bagian dari masyarakat miskin yang biasanya belum mampu memenuhi kebutuhan diri mereka. Oknum-oknum berkepentingan dapat mengendalikan mereka dengan iming-iming materi, termasuk menggoyahkan akidah mereka. Selain itu, kurangnya nutrisi iman dan lingkungan yang tidak Islami membuat mereka kurang memperhatikan kewajiban agama.
Pendidikan pesantren seharusnya memberikan pengetahuan keislaman yang lurus sesuai dengan pemahaman ahlus sunnah wal jamaah. Jangan sampai umat Islam terlena dengan predikat Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim tertinggi di dunia. Jika kemiskinan mendekatkan orang pada kekufuran, maka dai-dai wajib bersahabat dan peduli pada orang miskin.
-
Memiliki Kecenderungan Menolak Sekolah (School Refusal)
School Refusal adalah kecenderungan anak untuk menghindari sekolah, yang ditandai dengan rasa cemas berlebihan, menangis, merasa sakit, atau merasa takut saat pergi ke sekolah. Anak jalanan terkadang putus sekolah karena alasan sepele, seperti takut pada guru, minder karena memiliki pengetahuan yang lebih rendah daripada anak-anak normal, baju yang belum dicuci, atau saling ejek antar teman. Setiap gejala school refusal, baik itu karena kecemasan berlebihan, menangis, dan sebagainya, memiliki penanganan masing-masing.
Pendidik dan orang tua harus memperhatikan penolakan anak agar tidak membiarkan mereka putus sekolah begitu saja. School refusal akan lebih mudah ditangani jika pendidik memberikan perhatian penuh terhadap anak. Lingkungan dan kegiatan pesantren memberikan kesempatan bagi anak untuk beradaptasi dengan kesibukan yang bermanfaat. Upaya tersebut mampu membangun kebiasaan positif bagi pendidikan anak.
-
Kurangnya Dukungan Orang Tua
Dukungan orang tua menumbuhkan kesejahteraan akademik tertentu, seperti motivasi, kepercayaan diri dalam akademik, dan stabilitas emosi yang lebih baik. Dukungan orang tua dapat meningkatkan penghargaan diri dan kepercayaan diri anak, sementara kurangnya dukungan orang tua dapat berdampak negatif pada pertumbuhan anak di masa remaja. Felson (1989) menyatakan bahwa dukungan orang tua penting untuk pertumbuhan remaja, dan hal tersebut berpengaruh positif pada penghormatan diri anak, terutama pada anak-anak perempuan.
Kendalanya adalah orang tua anak jalanan biasanya juga terlahir sebagai anak jalanan, memiliki riwayat sosial yang bermasalah, atau sama-sama berpendidikan rendah. Tanpa merenggut hak mereka sebagai orang tua, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pemerintah, dan tokoh-tokoh masyarakat yang peduli perlu bersama-sama mengarahkan mereka agar dapat bergerak menuju kondisi ideal. Rumah singgah yang berfungsi sebagai tempat pembinaan akhlak dan pendidikan dapat menjamin dukungan dan motivasi yang intensif bagi anak jalanan.
Tiga hal di atas menunjukkan pentingnya eksistensi pesantren untuk anak jalanan, terutama pesantren putri. Menyelamatkan satu anak jalanan perempuan sama dengan menyelamatkan anak-anak serta cucunya dari kehidupan jalanan.
Urgensi Pesantren Bagi Anak Jalanan
Suyanto (2010) menyebutkan tiga alasan pokok mengapa anak jalanan bersedia meninggalkan kehidupan jalanan. Pertama, mereka menyadari bahwa kehidupan anak jalanan sangat keras dan penuh ancaman tindak kekerasan, sehingga dapat merugikan keselamatan, keamanan, dan kelangsungan masa depan mereka. Kedua, anak jalanan memiliki pembanding dengan kehidupan luar yang lebih nyaman daripada kehidupan di jalanan. Ketiga, dukungan motivasi dari kakak-kakak pendamping atau pembina Rumah Singgah seringkali memberikan dorongan untuk hidup lebih baik.
Pada poin ketigalah, pesantren anak jalanan dapat berperan penting. Ketika kita mendengar kata “Pembinaan/Pemberdayaan Anak Jalanan,” mungkin yang terlintas di pikiran kita adalah gambaran anak-anak yang sudah menghasilkan prestasi, seperti grup hadrah, qori’, juara ilmu eksak, dan segenap gambaran pelajar dengan sejuta prestasi lainnya, atau sekadar memberi mereka rasa aman dan dunia anak-anak yang layak bagi mereka. Namun, semua hal tersebut bisa jadi hanya angan-angan belaka jika tidak ada upaya untuk mewujudkannya. Wallahu a’lam bish-shawab.
mari selamatkan generasi muda dengang berdonasi kebagikan di berbagimanfaat.org
Penulis : Noven Lukito Hadi Saputro
*Artikel ini pernah diterbitkan oleh Majalah Al Haromain Edisi 160, Oktober 2019